Soe Hok Gie, Sekali Lagi....


Now, i see the secret of the making of the persons
It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth

Sebuah petikan dari walt whitman yang begitu sering diucapkan oleh Soe Hok Gie, termasuk dalam buku Soe Hok Gie, Sekali lagi...Buku Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya. Buku yang benar-benar memberikan sudut pandang yang lebih luas tentang sosok Gie karena buku ini merupakan pandangan sejumlah orang baik yang mengenal Soe Hok Gie atau mereka yang hidup di zaman setelah ia wafat di Mahameru, tepat 40 Tahun yang lalu. Buku ini tentu berbeda dengan buku-buku sebelumnya, baik Catatan Seorang Demonstran ataupun Lentera Merah yang merupakan pemikiran Gie.

Buku ini seperti ingin menjelaskan sosok gie secara utuh, bukan seperti yang dahulu saya tahu. Pertama kali mengenal sosoknya adalah ketika saya melihat kaos bergambarkan siluet muka Gie, waktu itu tak ada yang saya tahu tentangnya. Film Gie karya Riri Riza pun hanya memberikan saya sedikit deskripsi tentangnya, seorang pecinta alam dan kritikus tajam pemerintah tanpa tahu lebih dalam sosoknya. Setidaknya, setelah membaca buku tersebut menambah wawasan saya tentangnya.

Pecinta Alam sejati, mungkin itu yang dapat saya sematkan padanya. Pandangannya tentang filosofi mendaki gunung sangat mendasar tapi subtansial. Menurutnya tak mungkin nasionalisme tumbuh jika tak mengenal objeknya secara langsung, salah satu caranya ialah dengan mendaki gunung. Mungkin banyak yang bertanya-tanya, apakah pernyataan tersebut seperti tameng sebuah hobi? Saya rasa tidak, karena saya pun merasakan apa yang dimaksud pernyataan gie. Selain itu, Gie adalah sosok seorang pembuat kritik pedas kepada siapapun, tentu banyak dari kita yang sepakat akan hal ini. Era Gie, 1960-an adalah era dimana kondisi politik mengalami instabilitas. Perang NASAKOM dengan PANCASILAIS telah membuat kondisi negara semakin parah. Kita pun tahu bahwa kepemimpinan Bung Karno tumbang setelah tragedi gestapu, ia pula yang turut menumbangkan sang Proklamator dari kursinya dan berganti dengan era Soeharto. Ketika teman-teman seperjuangan dalam menurunkan Bung Karno lebih memilih untuk duduk di bangku pemerintahan, ia justru lebih memilih sebagai orang yang berada diluar pemerintahan dan tetap kritis kepada pemerintah. Itu sebabnya ia terkenal sangat idealis, idealis sejauh-jauhnya.

Gie adalah sosok yang unik menurut saya, hobi dan pandangan-pandangnnya yang kritis seperti terbalik dengan kehidupan asmaranya, ia sosok introvert. Mungkin itu sebabnya, hingga akhir hayatnya ia masih sendiri. Slogan buku, pesta, dan cinta memang benar-benar tepat untuknya. Ia pemikir, petualang, dan memiliki perasaan mengenai cinta, meski di buku-buku yang pernah saya baca tak pernah mengumbar secara jelas apakah ia berpacaran atau sekedar memendam perasaan suka pada lawan jenis. Rasanya sulit menemukan sosok penggati gie hingga saat ini, entahlah. Tetapi satu hal yang pasti, berkat sosoknya saya seperti memiliki cara yang lebih luas dalam hidup, dalam menilai sesuatu secara lebih komprehensif. Ketika disekitar pragmatis dan cenderung egois ia tetap idealis sejati dan lebih memilih mendaki gunung untuk merenung atas apa yang telah diperbuatnya. Mengenalnya meski lewat buku dan artikel membuat saya tak pernah menyesal menghabiskan uang untuk mendaki gunung, mencari sedikit pelajaran hidup dan pengalaman yang tak akan saya dapatkan di bangku akademis.

Akhirnya, biarlah sosoknya tenang di Mahameru, puncak raja-raja Jawa. Sekarang tinggal bagaimana kita sebagai generasi berpuluh-puluh tahun setelahnya untuk benar-benar mewujudkan apa yang menjadi pemikirannya. Indonesia yang lebih baik, Indonesia yang bermartabat, negara yang mengedepankan nilai-nilai keadilan serta menjunjung HAM. Mungkin benar adanya hidup bukan hanya spektrum hitam dan putih saja, selalu ada ruang abu-abu ditengahnya, jalan bagi mereka yang pragmatis dan egois. Beruntunglah ia mati muda karena telah memberikan sumbangsih yang amat besar. Semoga kita bukan hanya generasi pesta dan cinta saja! THE ANGRY YOUNG MEN!

Camerado, I give you my hand
I give you my love more precious than money
I give you myself before preaching or law
Will you give me yourself?
Will you come travel with me?
Shall we stick by each other
As long as we live?

Komentar