Menggapai Atap Sumatera, Kerinci









Menggapai Atap Sumatera, Kerinci
FOTO



Pesan singkat dari singa udara saya terima malam itu, antara kaget dan kesal karena semua rencana perjalanan harus diubah malam itu juga,  pada akhirnya delay tersebutlah yang mempertemukan kami dengan saudara-saudara baru di tanah Sumatera. Sejatinya perjalanan menemukan saudara dan sahabat baru lebih berharga dari puncak itu sendiri, serta pulang ke rumah bertemu keluarga adalah tujuan dari semua perjalanan yang saya tempuh.

***
                Suasana lebaran masih terasa ketika saya pacu vespa tua saya menuju sebuah kampus di daerah Pasar Minggu yang menjadi titik kumpul keberangkatan, entah sudah berapa kali saya habiskan libur lebaran untuk mendaki gunung. Disana telah menunggu Thopa, Mundri, dan Konde teman seperjalanan saya untuk seminggu ke depan. Oh iya satu lagi teman perjalanan saya adalah Uta, kawan lama yang akan bertemu di Kaki Kerinci. 

                Singa Udara yang membawa kami mendarat di Jambi Pukul 21.00 waktu setempat, disana telah menunggu Bang Rico, sopir travel yang akan mengantarkan saya ke Sungai Penuh, kota kecil berjarak 10 Jam dari Jambi. Setelah mengisi perut dengan pecel ayam tak jauh dari Bandara, mobil kembali dipacu melaju membelah jalan trans sumatera. Hanya hutan dan perkebunan yang bisa saya lihat di kiri dan kanan jalan, sesekali terlihat rumah yang jaraknya berjauhan. Suasana sempat tegang ketika melintasi jalur rawan ‘bajing Loncat’, syukur tak ada kejadian yang tidak diinginkan. Jalur yang kami lalui menuju Sungai Penuh memang terkenal aduhai karena jalurnya yang berkelok-kelok dan banyaknya lubang di jalan. Tiket yang lebih murah menjadi alasan memilih Jambi sebagai starting point, dan jalan rusak Jambi-Sungai penuh adalah konsekuensi yang harus kami lalui untuk mencapai kerinci  

Jalan menuju sungai penuh


 Sungai Penuh dan takdir yang tak kami sesali

                Pukul 11.00 siang kami tiba di Sungai Penuh, Mundri coba menghubungi Bang Dodi pegawai TNKS untuk membantu mencarikan porter, pendakian kali ini kami memang ingin ultra light hiking, tapi faktanya bawaan kami overload dan harus diangkut porter. Selesai makan siang di restoran Padang, tapi tak ada tulisan Padang seperti di Jakarta, kami bergegas menaiki angkot yang kami sewa sampai pintu rimba seharga 200 Ribu. 



           Di Jalan sang sopir dengan enaknya mengangkut penumpang, yap penumpang tersebut seorang pendaki yang ingin ke Kerinci juga. Sempat terjadi perdebatan antara sang pendaki tersebut dengan konde karena merasa telah menyewa angkot. Pada pendakian kerinci kali ini sang pendaki inilah yang akan banyak membantu kami, Bang Al namanya. Di jalan juga kami mampir ke tempat Bang Dodi untuk menjemput Amoy, keponakannya yang ingin kami jadikan porter serta menjemput Uta di penginapan Paiman. Di Pintu Rimba kami melakukan recheck ulang alat dan logistic, setelah dirasa semua beres dan lengkap pendakian dimulai dengan berdoa terlebih dahulu, Jalur awal pendakian kerinci tergolong santai, mirip pendakian gede via Cibodas. Tapi kesenangan ini hanya sampai shelter 1, sebelum shelter 1 kami harus melewati 3 pos, masing-masing pos berjarak kurang lebih 1-2 jam. Sekitar pukul 19.30 kami sampai di shelter 1, tak perlu waktu lama segera kami berbagi tugas untuk memasak dan memasang tenda. Kami memang berencana untuk lebih santai mendaki karena belum beristirahat dari Jakarta.



check sinyal di shelter 1


                Kamis, 31 Agustus Pukul 08.00 kami bersiap untuk berpindah shelter, yakni shelter 2. Kami berencana untuk mendirikan camp site sebelum melakukan summit attack. Dari Shelter 1 ke shelter 2 jalur yang kami lalui mulai menunjukkan jati diri kerinci yang sebenarnya, tanjakan “dengkul ketemu jidat” terus menggempur kami, si Amoy harus tertinggal jauh di belakang karena fisiknya terkuras habis. Jalur pendakian kali ini mirip dari Kandang badak-Puncak gede. Butuh waktu 4 jam sampai shelter 2.



fisik mulai terkuras



Summit Attack

                Angin lembah menerpa tenda dan pepohonan subuh itu, Jumat dini hari adalah waktu yang kami tunggu setelah berjalan berjam-jam lamanya, pukul 03.00 pagi kami meninggalkan shelter 2 dengan hanya membawa daypack, semua barang kami tinggalkan dan amoy akan menjaga barang-barang kami. Keputusan untuk mendirikan camp site di shelter 2 menurut saya adalah keputusan tepat, shelter 2-shelter 3 jaraknya tidak terlalu jauh akan tetapi jalurnya sangat berat dan bukan hanya harus ‘dengkul ketemu jidat' tetapi memanjat pohon karena kemiringan jalur nyari 90 derajat di beberapa titik jalurnya. Tak bisa saya bayangkan jika harus membawa keril penuh muatan sampai di shelter 3. Butuh waktu kami sekitar 45 menit untuk sampai di shelter 3. Dari sini pemandangan sangat jelas. Shelter 3 merupakan batas vegetasi, setelah ini jalur akan didominasi batu dan kerikil mirip jalur Gunung Slamet.



Shelter 3



Pasir dan kerikil di jalur menuju puncak

                Beberapa kali saya berhenti mengambil nafas, jarak dari shelter 3 ke puncak kerinci sekitar 3-4 jam, setelah beristirahat serta tak lupa berdoa untuk Almarhum Yudha di tugu yudha perjalanan dilanjutkan kembali. Dari Tugu Yudha sekitar 15 menit kami sudah berada di Puncak Kerinci, tanah tertinggi Sumatera, Puncak gunung api tertinggi di Indonesia. Sujud syukur kami lakukan di Puncak, saling berpelukan dan berangkulan. Tak lupa mengabadikan moment demi moment di Puncak Kerinci.

atap sumatera


  Tak perlu berlama-lama di puncak, cukup 30 menit saja. Jalur turun kami akui lebih sulit daripada ketika naik, licin dan harus pandai memilih pijakan jika tidak ingin masuk ke jurang yang menganga.Kerikil-Kerikil berjatuhan ketika dipijak, fokus adalah kunci ketika menuruni puncak dengan trek berbatu. Konde harus menahan sakit ketika jatuh saat menginjak batu kecil yang longsor. Sekitar Pukul 10.00 pagi kami tiba kembali di shelter 2.


Ada Masalah di bawah? 


longway down


                Lepas dari Shelter 2, penginapan di desa kersik tuo adalah camp site tujuan kami berikutnya. Berjalan melewati turunan terjal dan sisa-sisa tenaga memang membuat kami sedikit melambat. Tiap tanah datar kami habiskan istirahat, tak tanggung-tanggung ‘sebats duls’ atau ‘sebatang rokok dulu’ setiap beristirahat. Sebelum shelter 1 ada kejadian menarik, ketika berpapasan dengan pendaki yang akan naik, Uta bertanya “ada masalah dibawah?” pertanyaan yang membuat pecah tawa di tengah belantara Sumatera, karena selain tidak jelas maksud pertanyaan tersebut, ekspresi dari pendaki yang kebingungan akan pertanyaan tersebut cukup menghibur kami. Ah memang aneh si Uta. Tetapi sadar atau tidak selepas shelter 1 masalah mulai timbul, lutut saya mulai sakit dan saya memilih jalan paling belakang bersama Mundri dan Amoy.

                Menjelang Pos 1 dimulailah petaka itu, Amoy mengalami sakit di kakinya sehingga tidak bisa berjalan. Setelah coba diurut oleh Konde sakitnya tak kunjung membaik, ia berjalan dengan dipapah secara bergantian oleh saya dan Mundri. Hari mulai gelap dan jalan turun serasa tak kunjung selesai, untuk menghemat waktu Amoy berjalan lenggang tanpa membawa keril, karena dirasa masih terlalu lambat akhirnya Uta menggendong Amoy, dan Bang Al membawakan keril super besar milik Uta. Hampir semua orang harus menggendong tas depan dan belakang. Pertama kalinya selama saya mendaki gunung melihat porter harus digendong. Sekitar pukul 08.00 malam akhirnya kami sampai di batas hutan, tak perlu waktu lama akhirnya angkot yang telah dipesan sebelumnya datang dan mengantarkan kami ke penginapan di Kersik Tuo. Malam itu semua tidur dengan lelapnya, tak peduli harus berdesakan di dalam kamar penginapan. semua rasa capek itu terbayar lunas!.

                Perjalanan ini telah mengajarkan saya banyak hal, manajemen barang dan waktu, persahabatan, kesabaran, dan mendapatkan sahabat-sahabat baru sebuah hal yang tak akan bisa didapatkan di Jakarta. Dan pada akhirnya perjalanan ini pula yang memberikan saya sudut pandang lain akan kehidupan, membumi. Ya tetap membumi siapapun kita. Kerinci 4 Agustus 2014.

Kerinci 2014



Komentar