Selayang Pandang Di Manglayang




Selayang Pandang di Manglayang

Jangan pandang remeh gunung yang ketinggiannya di bawah 2000 MDPL, apalagi letaknya di pinggir jalan raya antar kota dan di belakang kampus negeri di Jatinangor, jika anda pernah menonton film doraemon, Nobita seringkali pergi ke bukit belakang sekolah, ya persis itu lah Manglayang.

***
Bis yang membawa kami berhenti di pintu tol Cileunyi, kami segera turun dan mengambil tas-tas besar di bagasi bis. Ehhmm...saya sebut ini couple hiking dari enam orang pendaki semua berpasangan, salah satunya adalah suami istri yang baru tiga minggu menikah. What a great honeymoon!


Blok Barubereum
Pukul 02.00 dini hari angkot yang kami sewa melaju melewati kampus-kampus negeri di Jatinangor, angin dini hari menerpa pepohonan, perlahan cahaya dari gedung-gedung itu semakin kecil dan menjauh. Tak lama angkot coklat kami melewati bumi perkemahan Kiara Payung, namun bukan itu titik awal pendakian kami, adalah Blok Barubereum yang kami jadikan starting point menuju Manglayang. Menuju Blok tersebut memang agak rancu karena kurangnya petunjuk jalan, jika dari arah Kiara Payung, begitu menemukan pertigaan maka ambil jalan paling kiri, dan jalan tersebut akan mengantarkan sampai Blok Barubereum, blok perkebunan Perhutani di Gunung Manglayang.

Adzan Subuh sayup-sayup berkumandang di kejauhan, dari mushola yang kami jadikan tempat beristirahat terlihat kelap-kelip cahaya kota Jatinangor dan sebagian Sumedang. Setelah sholat dan cuci muka, kami tak segera mendaki, dengan alasan perjalanan hanya empat jam santai untuk menuju Puncak Manglayang. Pagi itu kami habiskan untuk sekedar berbincang dengan pemilik warung di samping Mushola, satu-satunya warung yang buka. Ehhmm...Rasanya kemanapun saya pergi kopi, rokok, atau teh jadi alat pemersatu. Cukup buatkan salah satunya, dan perbincangan akan mengalir.

Mushola di Barubareum


Ini Cikurai? Saya kira ini ciremai.
                Ada pepatah don’t judge book from its cover, saya percaya ini. Jangan pernah menganggap remeh gunung dari ketinggiannya. Setiap gunung memiliki karakteristiknya yang khas, apapun itu saya suka semua karakternya. Meskipun hanya berketinggian 1818 MDPL namun jalurnya tanpa bonus dan tanpa ampun, kemiringannya bisa mencapai 70 derajat. Belum lagi debu-debu yang ada di trek berterbangan bila dipijak. Saya tak habis pikir bila turun hujan, karena trek via barubereum adalah aliran air dan pastinya ketika hujan akan menjadi sungai-sungai kecil yang mengalir ke bawah gunung, dan pendakian dipastikan akan semakin berat dan sulit. Tampilannya persis trek linggarjati ketika mendaki Gunung Ciremai, tanjakan tanpa ampun terus menghajar sampai Puncak Bayangan. Belum lagi tidak adanya sumber air di sepanjang jalur pendakian tentunya menambah beban tas-tas kami, untuk 6 orang kurang lebih kami membawa 9-10 botol ukuran 1,5 liter.

via barubareum


                Terik matahari persis di atas kepala ketika menjejakkan kaki di Puncak Bayangan, tak ada orang lain selain kami berenam, dari sini puncak sudah terlihat namun kami memilih mendirikan tenda di dekat Puncak Bayangan karena dari sini bisa melihat pemandangan terbuka hampir 300 derajat, kanan Bandung, Di tengah Cileunyi dan Jatinangor, dan kiri adalah Sumedang. Puncak Prisma demikian orang-orang menyebut tempat ini. 


Dari dua tenda yang berdiri di sadel antara Puncak Bayangan dan Puncak Manglayang angin berderu dengan kencang, menggoyangkan pepohonan di sekitar tenda. Cukup membuat bulu kuduk berdiri ketika malam hari, suara-suara aneh yang diciptakan seperti nyanyian dari alam lain. Ya walaupun saya kurang memperdulikannya karena bagi saya keindahan di Gunung di atas segalanya, Keagungan Penciptanya hanya itu yang perlu saya kagumi. Oh iya, di tengah malam ada rombongan dari Bandung yang mendirikan tenda dan bernyanyi di samping kami. Cukup membuat suasana menjadi cair dah hangat akan obrolan apa saja tentang kehidupan, nyanyian jiwa sebut Iwan Fals.



City light view dan Sunrise
                Jika ada yang bertanya kapan waktu yang paling menyenangkan di gunung? Maka Jawablah adalah saat kaki dan gigi saling beradu menahan dingin, dengan segenggam minuman hangat bersimpuh saling menghangatkan sambil memandangi mentari keluar dari peraduannya, Sunrise. Sayang memang cuaca di arah Garut kurang mendukung, awan hujan menyelimuti di sekitar Gunung Geulis membuat pemandangan terbatas dan cahaya tertutup awan hitam. Namun itu semua tak mengurangi keindahan Sunrise di Manglayang. Pagi itu suasana di Puncak Bayangan ramai oleh Mahasiswa Padjajaran yang melakukan pendakian tektok tanpa mendirikan tenda, semua saling berbagi tempat untuk menikmati pemandangan.

Pukul 09.00 setelah menghabiskan beberapa menu makanan yang dibawa termasuk ramen, ehhmm...makan ramen di gunung!, kami segera bergegas melanjutkan perjananan menuju puncak sebenarnya dan berencana turun via batukuda. Kurang lebih sejam mendaki dari Puncak Bayangan kami tiba di Puncak Manglayang. Puncaknya hanya ditandai plang tanda puncak bertuliskan “Puncak Manglayang, 1818 MDPL”. View dari puncak memang tidak semenarik dari Puncak Bayangan, dari sini mata tak luas memandang, sekeliling adalah pepohonan yang lebat dan tepat di tengah tanah datar ada gundukan batu tersusun rapi persis seperti kuburan lengkap dengan sesaji, entah hanya batu yang sengaja disusun rapi atau memang kuburan yang dikeramatkan. Beruntung pikir saya tidak mendirikan tenda disini, suasananya lembab dan kurang baik menurut saya. Persis seperti Kandang Batu di Gunung Gede atau Pondok Samarantu di Slamet. Praktis tak lebih dari 30 menit untuk beristirahat dan mengambil beberapa foto di puncak sebelum akhirnya kami menuruni bukit-bukit terjal menuju Batu Kuda

The Peak!


All Downhill from here
                Perjalanan pulang selalu saya anggap lebih berat dari waktu mendaki, fokus sudah hilang, fisik terkuras, dan perasaan ingin cepat sampai bawah kadang jadi faktor kecelakaan pendaki saat menuruni gunung. Saya harus tergelincir beberapa kali karena kayu yang saya pegang patah atau tanah yang saya pijak terlalu licin. Butuh waktu hampir tiga jam untuk menuruni bukit-bukit terjal menuju perkemahan Batu Kuda. Batu kuda sebuah bumi perkemahan di daerah Cibiru Bandung. 

Semilir angin menerpa cemara-cemara yg kokoh berdiri di Batu Kuda, sebuah nama yang diambil dari nama batu yang mirip kuda, batu tersebut berasal dari letusan gunung bandung purba. Beristirahat sambil membersihkan badan, mengganti pakai kami yang lusuh penuh debu setelah melalui jalur dengan beberapa kali “ngesot”. Di Batu Kuda ramai dengan pencinta alam yang mengadakan diksar atau keluarga yang bersantai diantara rimbunnya cemara gunung. Dari Batu Kuda untuk menuju jalan raya Cileunyi cukup jauh, setelah berjalan menyusuri perkampungan maka ojek-ojek di pangkalan adalah jawaban logis dari kaki-kaki yang lunglai. Harga Rp. 10.000 adalah harga murah dari sebuah jarak hingga pintu tol, dari sana bis-bis menunggu dengan setia para penglaju ke Ibukota.

Tepat Jam tiga sore bis bergerak perlahan melewati daerah-daerah di Bandung dan ditemani tembang dari Rumah sakit bis melewati kilometer demi kilometer tol Cileunyi hingga Cikampek, Terima Kasih Manglayang, sekilas tapi berkesan. Dan ini pertama kali saya mengajak pacar saya mendaki gunung! Horeeee.....

Batu Kuda-Cibiru



Ceritakan padaku indahnya keluh kesahmu, sebelum angin senja membasuh jauh
Tetaplah di istanamu langit yang biru kelabu...Kuning-Rumah sakit (album Nol Derajat tahun 2000)

Komentar