Cerita dari Sulawesi Selatan (Part 1)




Tulisan ini merupakan catatan perjalanan ke Pulau yang belum pernah saya datangi, Sulawesi. Berbekal tiket promo Asia Udara rute Makassar, saya dan Thopa mulai membuat itinerary, tentuin beberapa destinasi untuk dikunjungi. Banyak pilihan dari Tana Toraja, Takabonerate sampai Kepulauan di Pangkep. Atas dasar pertimbangan waktu dan biaya maka dipilihlah Tanjung Bira, Lemo-Lemo, Tana Beru, Ramang-Ramang, dan Taman Nasional Bantimurung. this is my story, here we go...!

***

Malam itu Jakarta masih bergelut dengan kemacetan, di sudut Ibukota semua kendaraan menuju arah suburban kota. Setelah susah payah menembus kemacetan kami baru masuk pesawat pukul 21.15, padahal flight 25 menit lagi. Fyi penerbangan ini pengalaman pertama saya naik pesawat ke Sulawesi, terbayang kisah tragis Adam Air ataupun cerita segitiga bermuda Indonesia di Masalembo. Untuk menghilangkan cerita-cerita yang terus hinggap di otak, saya putuskan untuk tidur. Alhasil di pesawat saya hanya tidur dan tidur hingga dibangunkan pramugari saat pesawat hendak mendarat di Makassar.


Tiba di Makassar dinihari sekitar pukul 01.00. Setelah menunggu beberapa saat di convenience store yang menjamur di Jakarta dan Bali, kami disambut Adi yang akan menjadi teman perjalananan selama 3 hari. Adi kami kenal dari Anca yang merupakan anggota Backpacker Indonesia regional Celebes, nantinya dari Adi inilah kami memiliki kosakata baru yang selama perjalanan selalu kami ucapkan. Berdasarkan Itin yang kami buat, maka rute awal kami di Sulawesi Selatan adalah Tanjung bira di Kabupaten Bulukumba  yang berjarak sekitar 250 km dari Makassar, sekitar 5-6 jam perjalanan darat melewati beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan


letak tanjung bira di handphone saya

Day 1


Ketika melewati Kabupaten Jeneponto, Daeng Adi memberhentikan kendaraan yang ia kendarai di depan Masjid. "selepas ini jalur rawan, kita tunggu aja sampai subuh baru jalan" jawab Adi ketika kami tanya alasannya berhenti. Sekitar 45 menit kami berhenti di pinggir jalan sebelum melaju keluar dari Jeneponto, selepas subuh mobil kembali dipacu menuju Tanjung Bira.


Setelah bersempit-sempitan di dalam mobil akhirnya sekitar pukul 06.30 kami tiba juga di Tanjung Bira, tanpa basa basi kami langsung turun ke pantainya. "gila ini pasir apa tepung", kalimat yang selalu saya ucapkan di Tanjung Bira.  Hampir semua menunjukkan ekspresi aneh, entah kagum atau terlalu lapar karena belum makan dari Jakarta. Pagi itu Bira masih malu-malu menunjukkan kecantikannya.

Tanjung Bira

Pagi itu fokus kami adalah mendapatkan penginapan, maklum belum tidur dari Jakarta. Setelah mencari dan nego harga dapatlah di Penginapan Riswan. Pak Riswan merupakan orang yang pertama kali membuka penginapan dan mempopulerkan Tanjung Bira hingga seperti sekarang. Kami cukup membayar 350K/malam untuk 7 orang. Letak penginapan ini jika dari arah pintu gerbang Tanjung Bira maka berada di sebelah kiri jalan. Atas bantuan Pak Riswan juga kami mendapatkan kapal untuk snorkeling plus alatnya seharga 450k. Kelar istirahat dan makan kegiatan pertama di Bira adalah snorkeling di Pulau Lihukang. 


Kolam raksasa

lihukang Island

Menurutu guide kami yang merupakan warga asli lihukang,  ada dua destinasi di Tanjung Bira untuk snorkeling, yakni Lihukang dan Kambing. Tetapi karena cuaca tidak bersahabat maka kami hanya diajak melakukan aktivitas di Pulau Lihukang.


                Di dekat Pulau lihukang ada kolam buatan di tengah laut untuk penangkaran penyu mirip di Karimun Jawa, setelah menyandarkan kapal kami langasung berenang diantara ikan dan penyu sekaligus berfoto. Tapi sayangnya tempat ini tidak terawat, menurut penurut pemandu kami tempat ini sengaja ditutup sementara karena ada kisruh diantara pengelolanya, apapun itu semoga cepat terselesaikan dan tidak menggangu pariwisata di Tanjung Bira.


Thopa diantara ikan

                Dari Pulau Lihukang, kami kembali ke Penginapan dan bergegas mengejar Sunset, berbekal peta “kuno” buatan Pak Riswan berangkatlah menuju Small mountain Puajanggo. Letak masuk ke Puajanggo ada di dekat Pelabuhan kapal menuju Selayar, ditandai dengan sebuah gapura. Puajanggo sendiri merupakan bukit yang persis ada di belakang Tanjung Bira, jika dari arah Bulukumba, bukit ini ada di sebelah kanan jalan. Butuh waktu 15 menit untuk kami berkendaraan dari Tanjung Bira ke gapura Puajanggo, awalnya kami menuju ke Puncak Puajanggo dengan berkendaraan, tetapi karena kondisi yang tidak memungkinkan akhirnya dilanjutkan berjalan kaki. Kontur Puajanggo berupa karang-karang tajam yang beberapa bagiannya ditutupi tanah.


             Dari Puncak Puajanggo pemandangan terbuka luas, lautan lepas terlihat di depan mata seraya mendamaikan hati. Sesekali bunyi kapal menuju Pulau Selayar terdengar memecah senja. Sore itu Tanjung Bira syahdu terlihat, selepas magrib kami kembali turun dan menuju penginapan. Saran  saya jika ke Puajanggo untuk berburu terbenamnya matahari maka bersiaplah kecewa karena posisi terbenamnya matahari agak menyerong dan terhalang pohon. Selain itu usahakan bawa alat penerangan karena jalan menuruni bukit gelap dan hutannya cukup lebat.

Sunsets




Malam itu kami habiskan bersantai di pinggir pantai bira sambil membakar ikan yang saya beli seharga 60.000 untuk 10 ekor ikan ukuran jumbo, lagi-lagi saya salah waktu untuk membeli ikan. seandainya membeli agak siang akan mendapatkan ikan yang lebih segar dan murah tentunya. Kegiatan malam itu juga kami habiskan dengan mengambil beberapa foto di pinggir pantai.


Day 2


       Tak ada bedanya dengan di rumah, bangun pagi tetap menjadi hal yang sulit dilakukan. Intinya kami gagal melihat sunrise di Tanjung Bira karena terbangun pukul 06.00 pagi, saya hanya berkunjung sebentar dan menyesal tidak sempat berenang di kolam raksasa ini. 

kolam raksasa



Setelah semua mandi dan sarapan kami bersiap kembali ke Makassar pukul 09.00 pagi.  kami meninggalkan penginapan dan tidak lupa pamit kepada keluarga Pak Riswan. Di Sepanjang perjalanan pulang ke arah Makassar, kami mengunjungi dua destinasi yakni  Pantai Lemo-Lemo dan Tana Beru
Selama perjalanan Andi sering menjawab telepon yang berdering dengan logat yang khas "haluu".
  
       Setelah puas mengunjungi kedua tempat tersebut, perjalanan dianjutkan membelah jalan yang melewati pinggir pantai dan persawahan. Kami tiba di Makassar sekitar jam 4 sore, langsung diajak si Adi "menghajar" Coto Makassar di Jalan Nusantara, dilanjutkan dengan mencoba palubutung dan pisang ijo di dekat losari, sambil menikmati sunset losari sembari jadi anak gaul Makassar. Di kejauhan semburat senja terlihat indah sekali, diselingi beberapa pengamen cilik yang selalu menyanyikan lagu yang sama, dan akhirnya saya tahu setelah di Jakarta jika lagu yang dinyanyikan adalah lagu tegar.

senja di losari

Sebelum balik ke tempat Adi di Maros, kami mampir dulu membeli buah tangan khas Sulawesi Selatan, letaknya tidak jauh dari Losari, hanya memutari jalan saja. Disini saya merasa gagal total sebagai backpacker karena pengeluaran saya disini setara harga tiket promo ke Makassar. Dari tempat oleh-oleh kami menuju Maros, kediaman dari Daeng Adi sekitar 1 jam berkendara dari pusat kota Makassar.
rumah andi

Ternyata rumah Adi melewati desa Ramang-Ramang yang lebih dikenal dengan Karst Maros. Dan sekitar 15 menit dari tempat tersebut kami tiba di kediamannya sekitar pukul 23.00. Rumah Adi merupakan rumah tradisional dengan ciri khas panggung, tetapi mereka mengubah lantai bawahnya menjadi ruangan. Tanpa basai basi kami langsung bergegas mandi dan beristirahat, mengumpulkan kembali tenaga untuk eksplorasi Karst Maros dan Taman Nasional Bantimurung esok pagi.

Bersambung.....



Komentar